Rabu, 25 Maret 2009

Gagal Menjadi Penulis Sukses, Kenapa?


Saya akan coba mengurai sejumlah penyebab kegagalan menjadi penulis. Dalam bidang apa pun kegagalan adalah jenis makhluk yang bikin tidak enak bagi yang menjalaninya. Kita perhatikan dan kenali 7 sebab kegagalan dalam proses olah tulis menulis.

1. Belajar Teori Saja
Aa Gym sering mengingatkan, “satu langkah bukti nyata, lebih baik daripada seribu teori”. Saya setuju dengan apa yang dikemukakan Aa Gym.

Prestasi apa yang dapat dihasilkan oleh generasi, yang cuma berhenti sampai tingkat teori saja. Dalam olah tulis menulis, betapa banyak jebolan perguruan tinggi, ditambah alumni kursus-kursus pelatihan menulis atau mengarang, tapi tidak pernah mampu menyelesaikan barang sejudul pun.

Maka tidak heran jika Abu Al-Ghifari sewaktu aktif di Ash-Shidiq Intelectual Forum, sebuah lembaga pelatihan

jurnalistik yang dipimpinnya, menerima banyak keluhan dari sarjana S1. Keluhan mereka yaitu tidak bisa menulis.

Kata DR. Deddy Mulyana, di negeri semisal Amerika, adalah kenyataan aneh bila seorang dosen tidak bisa menulis. Dan apalagi bergelar S2 atau S3. Dengan semangat tinggi, Bambang Trim mengutip sebuah pernyataan dari pusat pendidikan AS, bahwa “semua ilmuwan adalah sama, sampai satu di antara mereka menulis buku.”

Saya sepakat dengan Abu Al-Ghifari, kesulitan menulis bagi kaum intelektual bukan terletak pada teori tulis menulis. Tetapi karena malas mempraktekkannya. Kesimpulannya, siapa pun yang hanya mempelajari teorinya saja, tidak akan pernah bisa menulis.

2. Ide Sebatas Ide
Boleh jadi ide sudah berjumpalitan di otak kepala. Mungkin baru saat ide ditemukan rasanya tiada duanya. Perkiraan ide belum ditulis oleh penulis lainnya. Terbayanglah di benak kita ide ini paling mutakhir bernilai jual tinggi.
Tetapi sayang, ide hanyalah bunga-bunga khayalan. Akhirnya, bunga-bunga ide lesu dimakan waktu. Dan terkejutlah saat membaca tulisan yang ide utamanya sama. Rugilah kalau ide sebatas ide.

3. Menulis yang Tidak Disukai
Bicara mengenai tingkat kelancaran sekaligus kemandegannya, antara komunikasi lisan dan tulisan terdapat kesamaan. Jalaluddin Rakhmat dalam “Retorika Modern” (Rosda Karya, 1992) menjelaskan, apa pun isi ceramah yang disampaikan ke khalayak akan menjadi menarik bila materi itu dikuasai.
Lalu timbul kesimpulan, ceramah yang disampaikan, amat tidak menarik, jika mengucapkan apa-apa yang tidak dikuasai.

Begitu pula dengan tulis menulis. Nulis apa saja kalau kita menguasai materinya pasti lancar meski tidak bebas hambatan. Sebaliknya, nulis apa pun sekiranya materi tidak dikuasai, niscaya menemui kemandegan atau kebuntuan.

Jangan cuma karena ingin gagah-gagahan, kita menulis bahasan yang sebenarnya kita tidak memahami. Contoh: kita hendak menulis tentang Pemilu (Pemilihan Umum). Sementara pengetahuan mengenai Pemilu tidak memadai bahkan masih terbilang buta. Maksudnya, jangan memaksakan diri.
Setiap penulis memiliki spesialisasi ilmu yang khas. Jangan terjebak pada arus gemuruh emosi sesaat. Ukurlah kemampuan diri.

4. Cepat Puas
Tidak sedikit penulis pemula yang tulisannya berhasil dimuat media massa. Tidak cuma lokal, bahkan ada yang menembus media berskala nasional.

Namun sangat disayangkan, mereka cepat sekali merasa puas dengan capaian seperti itu. Mereka terlena dengan satu, dua tulisan yang dimuat dibangga-banggakan di setiap waktu dan diedarkan ke setiap forum pertemuan. Tentu saja bangga itu boleh, tetapi bila dalam waktu yang cukup lama kemudian tidak lagi menulis, nanti akan lupa bagaimana caranya menulis. Akibatnya sulit lagi untuk menulis.

Cepat puas dalam konteks ini dapat menimbulkan kemacetan total. Sayang, padahal sudah terbukti mampu menulis.

5. Ingin Cepat Populer
Para penulis pemula utamanya punya kebiasaan buruk, yakni ingin cepat popular. Terkadang lupa bahwa ketenaran, kepopularan, keterkenalan memerlukan proses waktu yang panjang dan perjuangan sangat keras. Tidak cukup dalam waktu singkat sebab profesi menulis bukan pekerjaan instan.

Tidak adil jika kita menuntut diri dengan harapan sosial yang tak proporsional. Robert B. Downs penulis “Buku-buku yang Merubah Dunia” (PT. Pembangunan Djakarta, 1959) mengungkap, banyak para penulis yang menggerakkan sejarah menulis di usia paruh baya atau tua: 44-54 tahun. Dua di antaranya, Thomas Paine dan Adolf Hitler (lepas dari kejahatannya). Paine dinilai sebagai pelopor kemerdekaan Amerika dengan karyanya “Pikiran Sehat (Common Sense).” Sedangkan Hitler penulis “Perjuanganku (Mein Kampf)” begitu kuat mempengaruhi gerakan komunis.

Hikmah yang kita petik adalah meraih popularitas perlu waktu panjang. Penulis yang tidak tahan proses, jelas akan gagal.

6. Macet Terjebak Honor
Bagi penulis senior, apa lagi yang idealis, kegiatan menulis tidak lagi (terutama) untuk mencari honor. Buat mereka yang terpenting ide sudah tersebar. Memasarkan ide ke lebih banyak orang dan kalangan. Berbeda dengan penulis pemula, yang dicari adalah honor berupa uang. Kelompok kedua jelas lebih banyak jumlahnya, ketimbang kelompok pertama.

Di bulan Oktober 1996, dua tulisan saya dimuat sebuah harian lokal. Senang bukan bikinan. Selang seminggu, setelah pemuatan tulisan kedua, saya menghubungi bagian yang bertugas mengurusi honor. Waktu itu saya kecewa berat, karena katanya tidak ada honor untuk penulis luar. Sifatnya hanya menyumbang naskah. Petugas itu mohon maaf ditambah basa-basi sedikit. Saya pun segera tahu, dan sangat memaklumi koran lokal yang memuat tulisanku, sedang berjuang keras memperpanjang umurnya. Cerita yang sama dialami Toha Nasrudin, nama lahir Abu Al-Ghifari sewaktu saya berkunjung ke Mujahid Press. Ia menyatakan, “tulisan saya sudah 20 judul tidak dihonor oleh media yang sama, tapi bukan uang sebagai tujuan.”

Pembaca Budiman, sekiranya Abu Al-Ghifari berhenti menulis gara-gara tidak dihonor, pasti ia tidak seproduktif sekarang yang telah menulis puluhan buku itu. Jika pembaca mengalami hal demikian, kecewa boleh, tapi jangan dipelihara. Ambil positifnya saja. Dimuat pun sudah beruntung.

7. Membesar-besarkan Kelemahan Sendiri
Bicara kelemahan, siapa yang terlepas dari kelemahan. Semua punya. Jangan perbesar kekurangan. Apalagi kita umbar ke setiap orang. Bisa-bisa yang mendengarkan jadi pusing dan jengkel.
Biasanya kelemahan itu berupa: tidak ada waktu, kurang referen, tidak ada bakat menulis dan bukan keturunan penulis.

Begitu sering pengamat politik muda usia Eep Saefullah Fatah menulis kolom saat menyetir. Caranya, Eep ngomong soal politik, sedang istrinya mencatat yang dibicarakannya. Ada bekas menteri yang mengetik di atas kendaraan. Hernowo mengaku bukan keturunan penulis. Ketiga orang ini jelas memiliki kelemahan dalam mengolah tulisannya, namun mereka tetap produktif.

Pembaca budiman, semakin meyakini lemah dan memperbesar kelemahan dalam menulis, tambah dalamlah diri kita memasuki wilayah kegagalan menjadi penulis.

By Lilis Nihwan Samuranje